“Who Knows? Who knows why we live, and struggle, and die? Wise men write many books, in words too hard to understand. But this, the purpose of our lives, the end of all our struggle, is beyond all human wisdom.”
-- Alan Patton
… there must be an end in this life
but in another sense, there’s an endless begin…
Manusia adalah bagian dari sebuah kisah yang telah dirancang dengan cermat oleh Penulis Agung. Setiap kejadian demi kejadian di seluruh tataran eksistensi adalah berkelindan seperti jejaring laba-laba. Satu getaran peristiwa di satu ujung jejaring akan dirasakan dan mempengaruhi seluruh lintasan jejaring hingga ke delapan ujung jejaring itu — seperti “butterfly effect,” di mana kepak sayap kupu-kupu di ujung timur dunia bisa menimbulkan badai di ujung barat dunia. Ada banyak peristiwa yang kita anggap besar; peristiwa yang laksana angin badai datang menerpa rumah kedirian kita, membuka jendela-jendela persepsi kita, mengguncang arsitektur kesadaran kita, dan mengubah diri kita, entah itu untuk sementara atau untuk selamanya. Lalu kita berusaha merenungkan dampak peristiwa itu, bagi diri kita sendiri atau, barangkali, bagi cara pandang kita terhadap keberadaan diri kita sebagai manusia.
Namun peristiwa “besar” itu tak selalu berupa kejadian historis yang mengguncang tatanan sosial atau kemanusiaan — peristiwa besar itu boleh jadi sebentuk momen pencerahan, seperti lintasan cahaya kilat di kegelapan pekat yang membuat kita memandang situasi sekitar kita yang, walau mungkin hanya sesaat, membuat kita menyadari akan adanya sesuatu yang lain. Barangkali dalam perjalanan hidup kita ada banyak momen-momen pencerahan semacam itu namun, sayangnya, kita terlampau sibuk oleh hiruk-pikuk dunia, oleh pikiran yang seperti tiada kenal lelah menjelajah di benak kita. Karena itu, beberapa orang yang peduli pada kehidupan kontemplatif merasa harus menarik diri, setidaknya untuk sementara, untuk menangkap momen-momen pencerahan itu.
Tetapi, terkadang juga momen itu datang secara tak terduga, seperti sebentuk takdir yang tak terelakkan yang memerangkap kita begitu saja dalam keterpesonaan mistis yang membuat kita merasa waktu berhenti sepenuhnya, membuat kita merasakan sesuatu daya yang sungguh berada di luar kendali kita dan mengendalikan seluruh hidup kita. Dan kitapun bertanya-tanya lagi tentang siapa diri kita sesungguhnya: dari mana, mau ke mana dan untuk apa hidup? Apa arti kehidupan yang suatu saat nanti pasti berakhir? Singkatnya, pada akhirnya, sampai titik tertentu, renungan yang sunggguh-sungguh niscaya akan membawa kita pada pertanyaan tentang hubungan kita (manusia) dengan alam semesta dan Tuhan, dan karenanya, tentang kesementaraan dan keabadian, atau sangkan paraning dumadi.
Dan demikianlah beberapa keping momen itu datang dalam tata-situasi yang biasa saja, tanpa persiapan khusus — sebuah momen yang melahirkan perubahan hidup, dan juga gagasan untuk menulis sebuah buku. “Ikatlah ilmu dengan menulis,” demikian anjuran Sayyidina Ali ibn Abi Thalib – karamallahu wajhah.
------------
Diambil dari Kata Pengantar Kitab Tentang Tasawuf karangan Tri Wibowo S.
No comments:
Post a Comment