Orang-orang miskin di jalanYang tinggal di dalam selokanYang kalah di dalam pergaulanYang di ledek oleh impianJanganlah mereka ditinggalkan(Sajak Orang-orang Miskin, WS Rendra)
Indah sekali sajak ini. Ketulusan hati terjewantahkan dalam ukiran tinta. Sederhana memang, tapi coba membacanya dengan hati. Karena mata kita sudah terlalu lama menikmati kemegahan materi. Sehingga sulit meratapi kepedihan kaum papa.
Sebait sajak Rendra itu ditulisnya pada 4 Februari 1978 di kota pelajar, Yogyakarta. Masa yang kala itu penuh tekanan politik penguasa Negara. Jangankan mengkritik, menyebut kata perubahan, demokrasi, atau hal lain yang berbau melawan program dan kepentingan pemerintah, maka dipastikan baju-baju loreng akan menelannya. Tapi lagi-lagi, letupan-letupan onggokan syaraf kepala menganggap hal itu sebagai hal kecil, meski anggapan ini salah. Dan ketika mulut dibungkam martir, tinta hitam tetap mengguratkan ukiran indah. Ukiran pemberontakan yang menggugah nurani. Hingga akhir zaman nanti.
Ini hanya sebuah refleksi kondisi negeri ini. Kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran, masih hinggap dan tak pernah lepas hingga kini. Walau teriakan perubahan, kesejahteraan, dan kemakmuran terus bergemuruh. Tetap saja Indonesia menjadi negeri miskin, tanah subur para koruptor. Ladang menggiurkan orang-orang culas.
Limpahan emas pemilik harta, taburan mobil mewah dijalan nan megah, pasar-pasar bercahaya mutiara dan kamar-kamar penginapan berharga dolar, bukan jaminan Indonesia kaya. Faktanya, di bawah aspal dan beton jalan raya, di selokan pabrik berasap uang, dan di pintu wahana perbelanjaan yang berlantai emas, penuh dengan tangan-tangan dekil keriput, dihiasi tangisan bayi yang perutnya tengah meraung dan si Kakek yang meringkuk lemah berbalut kulit selapis ari. Inikah gambaran negeri yang kayu dan batu bisa menjadi tumbuhan. Si kaya semakin hidup bergelimang. Sedangkan kaum dhuafa tetap bergelut dengan kelaparan dan ketertinggalan. Inikah negeri yang lautnya diibaratkan mutiara dan tanahnya berlimpah anugerah Tuhan. Inikah?
Tentu menjadi kontras. Ketika si kaya makan mewah beralas perak sedangkan si miskin hanya mengunyah aking sambil berebut. Saat putra sang kaya pergi ber-Mercy ke sekolah paling ter (terbaik, terpopuler, terlengkap). Di seberangnya, bocah paria bersengut dengan kasarnya aspal menuju perpustakaan ilmu yang ter (terjelek, terpelosok, terpinggirkan). Nampaknya, pertentangan ini akan terus berlanjut. Terlebih, pemimpin Negara telah lenyap jiwa sosialisnya. Di bagian timur negeri ini buktinya. Ketika rakyatnya tinggal di gubuk reotnya, sang bupati menancapkan langit dengan atap rumahnya yang menjulang tinggi. Ketika gizi buruk melanda dan anak-anak tak bersekolah, ’pekerja’ Senayan malah asyik pelesir ke negeri antah berantah. Alasannya klise! Demi menopang kinerja yang nyatanya sama sekali tidak relevan.
Memang sungguh luar biasa dan benar-benar di luar kebiasaan manusia. Jika ketua gerombolan gajah mati-matian membela anggotanya yang diserang kelompok lain. Tentu tidak masuk akal ketika pemimpin manusia yang dikarunia kelebihan berupa akal, sangat cuek dan menyepelekan kondisi rakyatnya.
Masihkah ada pengharapan dari kenestapaan ini? Tentu ada. Walau banyak petinggi negeri (penguasa dan orang kaya) yang sibuk dengan kehausan egonya. Masih ada malaikat-malaikat dunia yang menebarkan sayapnya. Anehnya, ketika petinggi negeri mencari popularitas dengan berdermawan ria. Para malaikat dunia ini menutupi parasnya dengan topeng-topeng kebaikan. Sekedar menjaga keikhlasan ucap mereka. Di setiap harta ini, ada bagian mereka. Mereka yang juga saudara sebangsa, seiman dan semakhluk. Cengang, takjub, berbinar hati ini. Tak henti-hentinya bibir ini mengucap segala puji untuk-Nya. Siapa Mereka? Datanya ada pada lembaga-lembaga zakat, pengurus masjid, dan ormas-ormas sosial. Tapi, data sesungguhnya ada di singgasana Illahi. Karena tinta manusia tidak mampu mencatat seluruh amal mereka. Berbeda dengan tinta yang dipegang makhluk gaib di pundak kanan manusia yang tidak pernah habis atau salah mencatat.
Saatnya Membeli Surga. Itulah yang harusnya digembar-gemborkan kini. Tidak penting berdebat metode penyaluran subsidi minyak yang paling efektif. Atau berselisih tentang cara menurunkan harga pokok yang terlanjur melambung tinggi. Masih terlalu banyak peculas yang bercokol di birokrasi negeri ini. Kini saatnya harta-harta kaum borjuis yang bergerak. Mengisi perut-perut yang kelaparan, menyembuhkan orang-orang yang tergerogoti penyakit kemiskinan dan menyelamatkan otak-otak brilian yang tak mampu bayar sekolah. Harta kita mampu melakukan penyelamatan besar-besaran penduduk negeri ini. Cukup dengan sebagian kecil, bahkan sangat kecil dari yang kita punya. Hanya seperempat puluh dari penghasilan besar kita. Sedangkan 97,5% lainnya berhak dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemilik. Meminjam kalimat Cak Nun atas kondisi korban Lumpur Lapindo. “Mereka butuh uang untuk hidup. Terserah asalnya dari malaikat maupun iblis” Pernyataan ini bukan melegalkan keharaman menjadi kehalalan. Tapi lebih kepada keputusasaan yang teramat sangat melihat kondisi rakyat. Karenanya, malaikat-malaikat dunialah yang harus tampil di muka. Bukan iblis-iblis congkak yang akan semakin menambah sengsara.
Cukupkah pengorbanan itu. Tentu secara logika tidak mumpuni. Tapi percayalah, bagian kecil itu dapat menjadi sesuap nasi yang menolong jiwa-jiwa yang lapar. Merangkul mereka yang tergerus kapitalisasi pendidikan. Dan melapangkan raga-raga rapuh yang tergerogoti penyakit. Dan pengorbanan ini adalah bagian dari ibadah. Karena setiap jin dan manusia tercipta dan diciptakan untuk beribadah pada sang Khaliq.
Salah satu hikmah berkurban di antaranya untuk mengarahkan manusia memanfaatkan hartanya secara optimal. Bukan untuk membangkrutkan, tapi justru untuk memperkaya diri. Karena sudah dijanjikan Tuhan, setiap pemberian akan menjadi sebuah benih. Kemudian benih itu tumbuh menjadi pohon berbatang tujuh. Dan setiap batangnya, menjulurkan seratus ranting. Itulah janji sang Esa kepada sang dermawan. Dan jika janji ini belum terealisasi saat ini. Sang pembagi harta tetap memperoleh kekayaan hati.
Tuli adalah kata tepat bagi mereka kaum bakhil. Dikiranya harta dapat menebus rahmat Tuhan. Sedang dia saat itu tengah tertawa di samping nenek yang mati tak makan. Mungkin dia juga telah gila. Dalam angannya terlintas bahwa Tuhan akan bahagia disuap dengan harta yang telah ditumpuknya saat di dunia. Padahal diapun sadar, Tuhanlah sang pemilik alam semesta yang maha megah ini. Dia tak perlu suatu apapun dari makhluk ciptaannya. Cukuplah ketaatan dan konsistensi dalam penyembahan terhadap-Nya. Karena hal itulah ukuran loyalitas sang hamba.
Sudah saatnya seluruh penduduk ini sadar. Hidup ini hanya sepersekian detik dari kehidupan sesungguhnya. Ribuan hingga jutaan rakyat miskin masih butuh uluran tangan sang pemilik harta. Walau pemilik harta enggan turun dari mercy mewahnya. Tapi cukuplah sedikit kesadaran itu menyelamatkan keterpurukan Mereka yang papa. Karena memang untuk menuju hal yang besar diperlukan langkah-langkah kecil. Epilog tulisan ini kembali menampilkan bait terakhir sajak Rendra di atas. Kenangkanlah, orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim. Semoga tercipta harmoni kehidupan yang dinamis. Gerakkan jiwamu, ulurkan tanganmu. Agar kaum marginal mampu merasakan persahabatan sejati melalui tangan-tanganmu. Ya, tangan-tangan malaikat dunia!
Sumber: dakwatuna.com
No comments:
Post a Comment